Pemuda yang Bertransaksi dengan Allah

Sabtu, 17 Maret 2012

| | | 0 komentar
Wahai orang yang memeluk dunia... dari panasnya api neraka. Dunia ini tidak kekal, siang dan malam penuh dengan kepalsuan dan kesia-siaan. Hendaklah kamu meninggalkan dunia yang membelenggumu. Sehingga kamu bisa segera memeluk surga firdaus. Jika kamu mencari surga yang abadi untuk kamu jadikan tempat tinggal, maka hendaknya kamu jangan merasa aman dari panasnya api neraka.

Dikisahkan oleh Syaikh Abdul Wahid bin Zabad Rahimahullah, Suatu hari ketika kami berada di sebuah majelis, kami memutuskan agar mempersiapkan diri untuk berperang. Saat itu aku memerintahkan kepada teman-temanku untuk membaca ayat-ayat Al Quran. Kemudian dalam majelis itu ada seorang laki-laki yang membaca ayat yang berbunyi.

'Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan mem­berikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.' (QS. At Taubah: 111)

Setelah itu, ada seorang bocah remaja yang usianya sekitar 15 tahun berdiri dan menemuiku. Dia te­lah ditinggal mati ayahnya dan meninggalkan warisan untuknya dalam jumlah yang sangat banyak. Lalu dia berkata, 'Wahai Syeikh Abdul Wahid, sesungguhnya aku bersaksi di hadapanmu, aku berani menjual jiwa dan hartaku dengan surga.'

Dia berani mengeluarkan semua hartanya. Semua disedekahkannya kecuali kuda, pedang, dan bekalnya. Ketika keluar menuju medan perang, dia berada di garda paling depan. Jual beli kami untung karena kami telah bertransaksi dengan Allah, kemudian kami memulai perjalanan.

Dia berjalan bersama kami. Dan saya lihat, jika siang hari dia berpuasa dan malam harinya ia gunakan untuk bermunajat kepada Allah. Dia melayani kami dan memberi makan hewan-hewan kendaraan kami. Dia menjaga kami saat kami tidur, sampai akhirnya kami sampai di kawasan musuh. Pada saat itu, tiba-tiba dia bangun dan berteriak-teriak, “Betapa aku ingin berjumpa dengan air mata keridhaan (al-'aina' al-mardhiyyah).'

Mendengar teriakan itu kami menghampirinya. Aku pun bertanya padanya,

'Wahai sayang, apa itu al-'aina' al-mardhiyyah?' Kemudian bocah remaja itu menjawab, "Saat kami sedang berebahan, tiba-tiba aku melihat seakan-akan ada orang yang datang dan menyuruhku agar aku pergi menemui al-'aina' almar-dhiyyah. Kemudian dia membimbingku ke sebuah danau. Tiba-tiba, aku benar-benar berada di sebuah danau yang tepinya dihiasi dengan aneka permata dan perhiasan. Keindahannya tidak bisa aku gam-barkan. Di sana terdapat banyak bidadari yang can-tik-cantik. Dan ketika melihatku, mereka tersenyum sambil berkata, 'Ini adalah suami al-'aina' al-mardhiyyah' mereka menjawab 'kami semua adalah para pelayan dan pembantunya. Silakan Tuan terus berjalan ke depan sana.'

Kemudian aku berjalan ke depan. Tanpa terasa, aku sampai di suatu danau di mana airnya berupa susu dan rasanya tidak pernah berubah. Danau tersebut berada di sebuah taman yang penuh de­ngan keindahan. Subhanallah, ada banyak bidadari yang kecantikannya membuat aku terpesona. Saat aku melihat mereka, mereka tersenyum kepadaku dan berkata, 'Sungguh, ini adalah calon suami al al-'aina' al-mardhiyyah.'

Kemudian aku berkata, 'Assalamualaikunna, adakah di antara kalian termasuk Al-'aina' al-mardhiyyah?' Mereka menjawab, 'Waalaika As-salam, wahai kekasih Allah. Kami bukan al-'aina' al-mardhiyyah. Kami adalah pelayan dan pembantunya. Berjalanlah Tuan ke depan.'

Kemudian aku berkata, 'Assalamualaikunna, adakah di antara kalian termasuk al-'aina' almardhi-yyah?' Kemudian aku melangkahkan kakiku lagi hingga sampailah aku di suatu danau di mana airnya adalah khamer, bukan seperti di dunia yang memabukkan, tapi ia memiliki rasa yang sangat lezat. Subhanallah.

Di tepi danau itu juga ada sederet bidadari yang menyambutku dan menyapa dengan tersenyum. Aku ucapkan salam kepadanya dan menanya-kan apakah di antara mereka ada al-'aina' al-mar-dhiyyah. Mereka menjawab dengan jawaban yang sama seperti di danau sebelumnya. 'Berjalanlah Tuan terus ke depan.'

Kemudian aku terus melanjutkan perjalanan dan sampailah aku di suatu tempat yang amat indah, dimana aku dapati sebuah danau yang airnya berupa madu murni. Bidadari-bidadari yang ada di tempat itu memiliki wajah yang sangat cantik dan bercahaya. Wajahnya tidak akan bisa saya lupakan. Aku pun menyapanya dengan salam dan bertanya tentang al-'aina' al-mardhiyyah seperti sebelumnya.

Mereka menjawab, 'Wahai kekasih Allah, kami bukanlah al-'aina al-mardhiyyah. Kami hanyalah pelayan dan pembantunya. Berjalanlah wahai tu-anku ke depan.' Akhirnya, untuk kesekian kalinya aku berjalan menuju suatu tempat yang mereka tunjukkan. Sampai akhirnya, aku tiba di suatu tempat di mana ada sebuah rumah mungil yang bangunannya terbuat dari mutiara putih nan indah. Di depan pintunya ada seorang bidadari yang amat cantik memakai perhiasan, kecantikan dan keindahannya tidak bisa aku bayangkan.

Dia tersenyum menatapku, lalu memanggil penghuni rumah mungil tersebut, 'Wahai al-'aina al-mardhiyyah, ini suamimu sudah datang,' ujarnya, 'masuklah wahai Tuan, Engkau telah dinanti oleh al-'aina al-mardhiyyah.' Setelah masuk ke dalam rumah mungil yang indah itu, aku melihat seorang bidadari yang amat sangat cantik dan begitu anggun sedang duduk di atas ranjang yang berhiaskan dan berukiran emas. Dia mengenakan mahkota yang berhiaskan intan dan yaqut. Aku sangat terpesona saat menatapnya.

Dia berkata, 'Selamat datang, wahai kekasih Al­lah, Dzat Yang Maha Pengasih. Sungguh sebentar lagi kamu akan mendatangi kami.' Lalu aku menghampiri dia dan bermaksud memeluknya. Tapi kemudian dia berkata, 'Tunggu seben­tar. Kamu tidak akan bisa memelukku, karena kamu masih memiliki ruh kehidupan. 'Saat itu aku tersentak kaget. Aku tidak sabar ingin bertemu dengannya sampai aku engkau bangunkan wahai Abdul Wahid."

Syeikh Abdul Wahid melanjutkan ceritanya, 'Percakapan kami belum sempat tuntas, tiba-tiba datang segerombolan prajurit musuh yang menyerang kami. Anak muda tersebut segera menyambut kedatangan mereka dengan gagah berani. la begitu lincah menyabetkan pedangnya ke sana ke mari sampai akhirnya sembilan orang musuh terbunuh di tangannya. Kami berhasil mengalahkan dan mengusir mereka. Tiba-tiba kami mendengar teriakan lirih tapi sangat jelas di telinga kami 'Al-'aina' al-mardhi-yyah.'

Aku mendekati dan menuju arah suara itu. Ternyata, saya dapati anak muda tersebut bersimbah darah.

Dia tersenyum lebar sambil berkata. 'Wahai Abdul Wahid, al-'aina' al-mardhiyyah telah benar-benar menjemputku. Subhanallah.'

Akhirnya dia pun meninggal dunia sebagai syuhada Allah. Dia benar-benar telah bertransaksi dengan Allah. Semoga Allah meridhainya."

Semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah ini serta menjadi orang yang benar-benar bertransaksi denga Allah, dengan perniagaan yang tidak pernah rugi dan benar-benar meraih keuntungan dengan surga-Nya. Amiin

Adakah diantara pembaca yang berminat meraih al-'aina' al-mardhiyyah? Mari kita berfastabikul khoirot untuk meraihnya. (Sumber : Al Quwwah Ar Ruhiyah, Karya : N. Faqih Syarif H, Penerbit : Al Birr Press)

Kisah Ajaib Sahabat Rasulullah Yang Jenazahnya Dilindungi Lebah

| | | 0 komentar
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus 10 mata-mata yang dipimpin Ashim bin Tsabit al-Anshari kakek Ashim bin al-Khaththab. Ketika mereka tiba di daerah Huddah antara Asafan dan Makkah mereka berhenti di sebuah kampung suku Hudhail yang biasa disebut sebagai Bani Luhayan.

Kemudian Bani Luhayan mengirim sekitar 100 orang ahli panah untuk mengejar para mata-mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berhasil menemukan sisa makanan berupa biji kurma yang mereka makan di tempat istirahat itu. Mereka berkata, ‘Ini adalah biji kurma Madinah, kita harus mengikuti jejak mereka.’

Ashim merasa rombongannya diikuti Bani Luhayan, kemudian mereka berlindung di sebuah kebun. Bani Luhayan berkata, ‘Turun dan menyerahlah, kami akan membuat perjanjian dan tidak akan membunuh salah seorang di antara kalian.’ Ashim bin Tsabit berkata, ‘Aku tidak akan menyerahkan diri pada orang kafir.’ Lalu memanjatkan doa, ‘Ya Allah, beritakan kondisi kami ini kepada Nabi-Mu shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Rombongan Bani Luhayan melempari utusan Rasulullah dengan tombak, sehingga Ashim pun terbunuh. Utusan Rasulullah tinggal tiga orang, mereka setuju untuk membuat perjanjian.
Mereka itu adalah Hubaib, Zaid bin Dasnah dan seorang lelaki yang kemudian ditombak pula setelah mengikatnya. Laki-laki yang ketiga itu berkata, ‘Ini adalah penghianatan pertama. Demi Allah, aku tidak akan berkompromi kepadamu karena aku telah memiliki teladan (sahabat-sahabatku yang terbunuh).’

Kemudian rombongan Bani Hudhail membawa pergi Hubaib dan Zaid bin Dasnah, mereka berdua dijual. Ini terjadi setelah peperangan Badar. Adalah Bani Harits bin Amr bin Nufail yang membeli Hubaib. Karena Hubaib adalah orang yang membunuh al-Harits bin Amir pada peperangan Badar. Kini Hubaib menjadi tawanan Bani al-Harits yang telah bersepakat untuk membunuhnya.

Pada suatu hari Hubaib meminjam pisau silet dari salah seorang anak perempuan al-Harits untuk mencukur kumisnya, perempuan itu meminjaminya. Tiba-tiba anak laki-laki perempuan itu mendekati Hubaib bahkan duduk dipangkuannya tanpa sepengetahuan ibunya.

Sementara tangan kanan Hubaib memegang silet. Wanita itu berkata, ‘Aku sangat kaget.’ Hubaib pun mengetahui yang kualami. Hubaib berkata, ‘Apakah kamu khawatir aku akan membunuh anakmu? Aku tidak mungkin membunuhnya.’

Wanita itu berkata, ‘Demi Allah aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Hubaib. Dan demi Allah pada suatu hari, aku melihat Hubaib makan setangkai anggur dari tangannya padahal kedua tangannya dibelenggu dengan besi, sementara di Makkah sedang tidak musim buah. Sungguh itu merupakan rizki yang dianugrahkan Allah kepada Hubaib.’

Ketika Bani al-Harits membawa keluar Hubaib dari tanah haram untuk membunuhnya, Hubaib berkata, ‘Berilah aku kesempatan untuk mengerjakan shalat dua rakaat.’ Mereka mengizinkan shalat dua rakaat. Hubaib berkata, ‘Demi Allah, sekiranya kalian tidak menuduhku berputus asa pasti aku menambah shalatku.’ Lalu Hubaib memanjatkan doa, ‘Ya Allah, susutkanlah jumlah bilangan mereka, musnahkanlah mereka, sehingga tidak ada seorang pun dari keturunannya yang hidup,’ lalu mengucapkan syair:

Mati bagiku bukan masalah, selama aku mati dalam keadaan Islam
Dengan cara apa saja Allah lah tempat kembaliku
Semua itu aku kurbankan demi Engkau Ya Allah
Jika Engkau berkenan,
berkahilah aku berada dalam tembolok burung karena lukaku (syahid)
Lalu Abu Sirwa’ah Uqbah bin Harits tampil untuk membunuh Hubaib. Hubaib adalah orang Islam pertama yang dibunuh dan sebelum dibunuh melakukan shalat.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu para sahabat pada hari disiksanya Hubaib, bahwa kaum Quraisy mengutus beberapa orang untuk mencari bukti bahwa Ashim bin Tsabit telah terbunuh dalam peristiwa itu, mereka mencari potongan tubuh Ashim. Karena Ashim adalah yang membunuh salah seorang pembesar Quraisy. Tetapi Allah melindungi jenazah Ashim dengan mengirim sejenis sekawanan lebah yang melindungi jenazah Ashim, sehingga orang-orang itu tidak berhasil memotong bagian tubuh jenazah Ashim sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari, no. 3989; Abu Dawud, no. 2660.). (ar/kisahmuslim)

baca juga : - Amir bin Al-Akwa', Penyair Ulung Yang Berjihad di Perang Kahibar - Kisah Ma’ruf al-Kurkhi, Sang Murid Para Malaikat -Kisah Julaibib dan Pengantin Wanita Yang Suci nan Mulia -Khubaib Bin ‘Adi, Relakan Nyawa Demi Cintanya Kepada Rasulullah -Kisah Wang Zipping, Muslim China Sang Legenda Grandmaster Wushu. semuanya ada di : http://suaramedia.com/sejarah/sejarah-islam/42489-kisah-ajaib-sahabat-rasulullah-yang-jenazahnya-dilindungi-lebah.html

Pengorbanan seorang budak demi Risalah

| | | 0 komentar
Dari Shuhaib Ar-Rumi radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada seorang raja pada zaman sebelum kalian. Ia  memiliki seorang tukang sihir. Ketika tukang sihir itu telah tua, ia berkata kepada sang raja, ‘Sesungguhnya usiaku telah tua dan ajalku telah dekat. Karena itu, utuslah kepadaku seorang anak muda agar aku ajari sihir’. Maka  diutuslah seorang pemuda yang kemudian ia ajari sihir. Dan jalan antara raja dengan tukang sihir itu terdapat seorang rahib. Pemuda itu mendatangi sang rahib dan mendengarkan pembicaraannya. Sang pemuda begitu kagum kepada rahib dan pembicaraannya. Begitu ia sampai kepada tukang sihir karena terlambat serta merta ia dipukulnya seraya ditanya, ‘Apa yang menghalangimu?’ Dan bila sampai di rumahnya, keluarganya memukulnya seraya bertanya, ‘Apa yang menghalangimu (sehingga terlambat pulang)?’ Lalu, ia pun mengadukan halnya kepada sang rahib. Rahib berkata, ‘Jika tukang sihir ingin memukulmu katakanlah, aku terlambat karena keluargaku. Dan jika keluargamu hendak memukulmu maka katakanlah, aku terlambat karena (belajar dengan) tukang sihir’.

Suatu kali, ia menyaksikan binatang besar dan menakutkan yang menghalangi jalan manusia, sehingga mereka tidak bisa menyeberang. Maka sang pemuda berkata, ‘Saat ini aku akan mengetahui, apakah perintah ahli sihir lebih dicintai Allah ataukah perintah rahib. Setelah itu ia mengambil batu seraya berkata, ‘Ya Allah, jika perintah rahib lebih engkau cintai dan ridhai daripada perintah tukang sihir maka bunuhlah  binatang ini, sehingga manusia bisa menyeberang’. Lalu ia melemparnya, dan binatang itu pun terbunuh kemudian ia pergi. Maka ia beritahukan halnya kepada rahib. Lalu sang rahib berkata, ‘Wahai anakku, kini engkau telah menjadi lebih utama dari diriku. Kelak, engkau akan diuji. Jika engkau diuji maka jangan tunjukkan diriku. Selanjutnya, pemuda itu bisa menyembuhkan orang buta, sopak dan segala jenis penyakit. Allah menyembuhkan mereka melalui kedua tangannya. Alkisah, ada pejabat raja yang tiba-tiba buta. Ia mendengar tentang pemuda itu. Maka ia membawa hadiah yang banyak kepadanya seraya berkata, ‘Sembuhkanlah aku, dan engkau boleh memiliki semua ini! Pemuda itu menjawab, ‘Aku tidak bisa menyembuhkan seseorang. Yang bisa menyembuhkan adalah Allah Azza wa Jalla. Jika Anda beriman kepada Allah dan berdo’a kepadaNya, niscaya Ia akan menyembuhkanmu. Ia lalu beriman dan berdo’a  kepada Allah dan sembuh. Kemudian ia datang kepada raja dan duduk di sisinya seperti sedia kala. Sang raja bertanya, ‘Wahai fulan, siapa yang menyembuhkan penglihatanmu?’ Ia menjawab, ‘Tuhanku’. Raja berkata, ‘Saya?’  ‘Tidak, tetapi Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah’, tegasnya. Raja bertanya, ‘Apakah kamu memiliki Tuhan selain diriku?’ Ia menjawab, ‘Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah’. Demikianlah, sehingga ia terus-menerus disiksa sampai ia menunjukkan kepada sang pemuda. Pemuda itu pun didatangkan. Sang raja berkata, ‘Wahai anakku, sihirmu telah sampai pada tingkat kamu bisa menyembuhkan orang buta, sopak dan berbagai penyakit lainnya’. Sang pemuda menangkis, ‘Aku tidak mampu menyembuhkan seorang pun. Yang menyembuhkan hanyalah Allah Azza wa Jalla. Raja berkata, ‘Aku?’ ‘Tidak!’, kata pemuda. ‘Apakah kamu punya Tuhan selain diriku?’ Ia menjawab, ‘Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah’. Lalu ia pun terus disiksa sehingga ia menunjukkan kepada rahib. Maka rahib itu pun didatangkan. Sang raja berkata, ‘Kembalilah kepada agamamu semula!’ Ia menolak. Lalu di tengah-tengah kepalanya diletakkan gergaji dan ia dibelah menjadi dua. Kepada pejabat raja yang (dulunya) buta juga dikatakan, ‘Kembalilah kepada agamamu semula!’ Ia menolak. Lalu di tengah-tengah kepalanya diletakkan gergaji dan ia dibelah menjadi dua. Kepada sang pemuda juga dikatakan, ‘Kembalilah kepada agamamu semula!’ Ia menolak. Lalu bersama beberapa orang ia dikirim ke gu-nung ini dan itu. (Sebelumnya) sang raja berpetuah, ‘Ketika kalian telah sampai pada puncak gunung maka bila ia kembali kepada agamanya (biarkanlah dia). Jika tidak, maka lemparkanlah dia! Mereka pun berangkat. Ketika sampai di ketinggian gunung, sang pemuda berdo’a, ‘Ya Allah, jagalah diriku dari mereka, sesuai dengan kehendakMu. Tiba-tiba gunung itu mengguncang mereka, sehingga se-muanya tergelincir. Lalu sang pemuda datang mencari sampai bisa bertemu raja kembali. Raja bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan kawan-kawanmu?’ Ia menjawab, ‘Allah menjagaku dari mereka’. Kembali ia dikirim bersama beberapa orang dalam sebuah perahu kecil. Raja berkata, ‘Jika kalian berada di tengah lautan (maka biarkanlah ia) jika kembali kepada agamanya semula. Jika tidak, lemparkanlah dia ke laut yang luas dan dalam’. Sang pemuda berdo’a, ‘Ya Allah, jagalah aku dari mereka, sesuai dengan kehendak-Mu’. Akhirnya mereka semua tenggelam dan sang pemuda datang lagi kepada raja. Sang raja bertanya, ‘Apa yang terjadi dengan kawan-kawanmu?’ Ia menjawab, ‘Allah menjagaku dari mereka’. Lalu sang pemuda berkata, ‘Wahai raja, kamu tidak akan bisa membunuhku sehingga engkau melakukan apa yang kuperintahkan. Jika engkau melakukan apa yang aku perintahkan maka engkau akan bisa membunuhku. Jika tidak, engkau tak akan bisa membunuhku’. Raja penasaran, ‘Perintah apa?’ Sang pemuda menjawab, ‘Kumpulkanlah orang-orang di satu padang yang luas, lalu saliblah aku di batang pohon. Setelah itu ambillah anak panah dari wadah panahku, lalu ucapkan, ‘Bismillahi rabbil ghulam (dengan nama Allah, Tuhan sang pemuda). Maka (raja memanahnya) dan anak panah itu tepat mengenai pelipisnya. Pemuda itu meletakkan tangannya di bagian yang kena panah lalu meninggal dunia. Maka orang-orang berkata, ‘Kami beriman kepada Tuhan sang pemuda. Kami beriman kepada Tuhan sang pemuda. Lalu dikatakan kepada raja, ‘Tahukah Anda, sesuatu yang selama ini Anda takut-kan? Kini sesuatu itu telah tiba, semua orang telah beriman. Lalu ia memerintahkan membuat parit-parit di beberapa persimpangan jalan, kemudian dinyalakan api di dalamnya. Dan raja pun  bertitah, ‘Siapa yang kembali kepada agama-nya semula, maka biarkanlah dia. Jika tidak, maka lemparkanlah dia ke dalamnya’. Maka orang-orang pun menolaknya sehingga mereka bergantian dilemparkan ke dalamnya. Hingga tibalah giliran seorang wanita bersama bayi yang sedang disusuinya. Sepertinya, ibu itu enggan untuk terjun ke dalam api. Tiba-tiba sang bayi berkata, ‘Bersabarlah wahai ibuku, sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran’.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad, 6/16-18, Muslim dan An-Nasa’i dari hadits Hammad bin Salamah. Dan An-Nasa’i serta Hammad bin Zaid menambahkan, yang keduanya dari Tsabit. Dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari jalan Abdurrazak dari Ma’mar dari Tsabit dengan sanad darinya. Ibnu Ishaq memasukkannya dalam Sirah dan disebutkan bahwa nama pemuda itu adalah Abdullah bin At-Tamir).


taken from: here